Hoi An, The Ancient Town

5-6 Februari 2008

Keberangkatan bus dari Nha Trang ke Hoi An mengalami keterlambatan selama 2,5 jam. Setelah lelah menunggu, akhirnya bus kami meninggalkan kota Nha Trang pukul 21.00.

Pengalaman Tak Menyenangkan

Perjalanan Nha Trang – Hoi An adalah perjalanan terburuk yang kami alami. Bad bad bad driver... Sang supir memutar lagu2 Vietnam, padahal speaker tepat diatas kepala saya yang berada ditempat tidur ditingkat atas. Bukan hanya suaranya yang mengganggu, tapi juga karena sudah malam, kami ingin istirahat. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika speaker diatas kepala anda, padahal anda ingin istirahat! Beberapa lagu berhasil mengalun keras ditelinga saya ketika kesabaran saya mulai habis. Saya datangi sang supir, “Turn off the music”. kata saya kepada sang asisten supir. Tapi apa jawaban yang didapat dari sang supir? “No no no”, dia berkata demikian. Speachless..
Saya meninggalkan sang supir dengan perasaan dongkol antara mau marah, ingin mematahkan CD lagu yang di putar sang supir, what ever to turn the music off!! Tapi takut :p
Ternyata bukan hanya saya yang terganggu, beberapa orang juga melakukan hal yang sama, sampai akhirnya sang supir itu mematikan tape-nya.

Tengah malam pukul 1 dini hari, seusai istirahat ditempat pemberhentian bus, sang supir kembali melakukan hal sama yang membuat semua orang komplain. Tapi semua komplain itu bagaikan angin lalu, tetap tak didengarkan. Kali ini saya minta suami saya, menyuruh sang supir mematikan tape-nya. Suami saya juga tidak tahu apa yang mesti dia lakukan. Tapi lama kelamaan, dia jengkel juga :p
Dia datangi asisten supir, “Slow down the music please”.
Sang asisten menjawab “No”.
“Turn off the music please”.
“No”.
“Why not?”
“No.”
“Why not?”
“No.”
“Why not?”

Klek. Sang supir mematikan tape-nya. Hurray.... we win!! Suami saya berhasil melakukan intimidasi. Pelan2 tapi pasti, tanpa perlu marah2, akhirnya sang supir menyerah..

Kami mengira sang supir sudah kapok menyetel tape. Ternyata tidak demikian. Pukul 06.00 kami kembali dibangunkan dengan lagu yang sama dengan lagu tadi malam. Arrrrrghhhhh !!!!

Karena sudah pagi, ya sudah lah, kami biarkan lagu2 tersebut menghentak2 gendang telinga kami. Hanya beberapa lagu diputar, kemudian dia mematikannya sendiri. Hmm dasar supir aneh pembakar emosi!!


Menikmati Kota Hoi An
Tiba di Hoi An, pukul 08.30. Begitu turun dari bus, cesss, dingin menusuk tulang. Suhu saat itu sekitar 15 derajat celcius. Kami tak menyangka udara begitu dingin, walaupun kami sudah diperingatkan bahwa bulan Januari dan Febuari adalah musim dingin didaerah Vietnam tengah dan Vietnam Utara. Kami diturunkan di sebuah hotel dan mereka menawarkan US$10 per kamar. Wah sayang sekali kami sudah memesan hotel dari Saigon dengan harga US$20 karena kami menyangka bahwa hotel2 akan penuh selama libur Tet.

Kami berusaha mencari hotel yang telah kami booking dari Saigon, yaitu Hotel Thao Nguyen di jalan 500 Hai Ba Trung. Kami mengira hotel tersebut dekat dengan Japanese bridge yang merupakan pusat keramaian di Hoi An, jadi kami memilih berjalan kaki.

Selama berjalan kaki mencari hotel, kami melewati jalan Nguyen Thi Minh Khai dan Tran Phu. Jalan tersebut merupakan salah satu jalan yang masuk kedalam World Heritage. Bagi kami sebenarnya jalan ini hanya berupa deretan rumah tua dan beberapa kuil. Di sepanjang jalan ini, banyak ditemui penjual souvenir, tapi mereka tak agresif.

A temple @Nguyen Thi Minh Khai street


Souvenir shop @Nguyen Thi Minh Khai street


Penjual gong (ada juga gong disini?) disalah satu ujung Japanese Bridge


Jalan Nguyen Thi Minh Khai dan jalan Tran Phu dipisahkan oleh sungai kecil yang lebarnya sekitar 10m dan diatasnya dibangun sebuah jembatan yang dikenal sebagai Japanese Bridge dan menjadi icon kota Hoi An. Konon katanya jembatan ini dibangun untuk menghubungkan antara desa China dan desa Jepang. Silahkan googling kalau ingin tahu sejarahnya :p


FrontView of Japanese Bridge
This is the icon of Hoi An


Side View of Japanese Bridge


Inside the Japanese Bridge

Setelah berjalan, bertanya beberapa kali, capek, dan hampir putus asa, akhirnya kami menemukan hotel kami yang ternyata lebih kurang 1km dari pusat keramaian, wuihhh...

Our room @Thao Nguyen Hotel


Sebagai kompensasi dari lokasi yang kurang strategis, mereka memberikan gratis memakai sepeda. Tapi kami lebih memilih menggunakan motor, karena siang ini, kami ingin ke kota Danang yang berjarak 25km dari Hoi An. Teman-teman kami yang pernah mengunjungi kota Danang selalu mengatakan, there is nothing to see, hanya kota bisnis biasa. Tapi kami -tepatnya suami saya- punya alasan tersendiri mengapa ingin ke kota Danang. Nama kota itu sama dengan namanya :D, alasan yang simple bukan? Mengunjungi kota Danang sudah menjadi mimpinya sejak dia SD. Saat dia tahu ada kota dengan nama Danang di Vietnam, dia selalu sesumbar sendiri bahwa someday I will be there. And it came true now!

Siang hari hingga menjelang sore, kami lewatkan di kota Danang yang merupakan kota terbersih di Vietnam.

Sekembalinya dari kota Danang sekitar pukul 16.00, kami kembali berjalan-jalan di pusat2 keramaian Hoi An. Kali ini kami menuju daerah jalan Bach Dang (Indonesia: pinggir sungai). Pasar ini sangat ramai, orang lokal dan turis bercampur disini. Bahakan ada dermaga kecil untuk tempat bersandarnya kapal yang digunakan untuk menyebrangi sungai buat manusia dan … motor!

Suasana pasar Bach Dang

Take the motorcylce accross the river


Pasar Bach Dang merupakan pasar tradisional dengan beberapa deretan toko penjual souvenir. Pasar tradisional menjual buah, sayur, rempah2, dll. Sedangkan di toko penjual souvenir barang yang biasa ditawarkan adalah dasi sutra, selendang sutra, sleeping bed sutra, dan segala macam yang berbahan dasar sutra. Saya membeli sebuah selendang “sutra” nan cantik yang berbordir kupu-kupu seharga 60.000VND, sedangkan suami saya membeli satu set dasi beserta sapu tangan juga seharga 60.000VND. Satu set dasi ini diletakkan dalam sebuah kotak yang motif kain pembungkus kotak sama dengan dasinya. Nampak cantik dan mewah.
Tapi mesti diingat bahwa sutra ini bukanlah sutra asli. Tips yang pernah saya baca mengatakan jika sutra asli tidak meleleh, tapi tebakar jika dibakar dengan api. Entah, saya belum pernah mencobanya karena saya tidak memiliki sutra asli :p

Belanja di pasar Bach Dang ini lebih murah dibandingkan dengan toko-toko yang ada dipinggir jalan lainnya. Satu set dasi yang dibeli suami saya ditawarkan seharga US$5-7 (80.000 – 120.000VND) diluar pasar Bach Dang.

Ada juga wisata lain yang ditawarkan disini, yaitu mengunjungi rumah-rumah kuno dan museum. Untuk memasuki rumah-rumah kuno tersebut, turis diharuskan membayar admission fee. Adapula beberapa rumah kuno yang dibuka secara gratis. Tapi karena kami tidak terlalu tertarik dengan wisata tersebut (apalagi membayar!) kami melewatkannya.

Museum of Folklore


Kota Hoi An nampak cantik dimalam hari. Kami sempat meremehkannya, karena pada saat siang hari yang nampak di mata kami hanyalah deretan bangunan tua yang berlumut dan lembab, dan juga sebuah sungai hitam. Walaupun hanya deretan bangunan tua, kota ini merupakan salah satu kota yang masuk dalam World Heritage.

The Dragon, with Japanese bridge background


Colorful lantern stall


Malam itu kami beruntung memiliki kesempatan untuk menyaksikan sebuah atraksi unik di pinggir sungai tepat di depan Japanese bridge. Sebuah atraksi FolkDance dari negara Denmark meramaikan suasana di area Japanese bridge. Mereka semua khusus datang dari Denmark untuk mengadakan pertunjukan di beberapa kota di Vietnam termasuk di Hoi An. Para penari folkdance ini hampir 90% sudah kakek-kakek dan nenek-nenek, hanya satu atau dua orang yang tampak masih muda. Tapi herannya mereka sanggup menari selama kurang lebih 1,5 jam dengan gerakan yang kebanyakan berputar-putar tanpa pusing.

A couple of Folkdance dancer


Swing...


The musician of Folk Dance



Video of Folk Dance from Denmark


Diujung acara, setiap penari folkdance memilih pasangan dari penonton untuk diajak menari bersama. Dan, suami saya kebagian rejeki itu. Suami saya yang selalu mengidolakan negara Denmark itu, dengan antusias dia mengiyakan ajakan seorang ibu penari folkdance (padahal sebelumnya dia mengeluh kakinya sakit karena peristiwa tabrakan di kota Danang :D). Kali ini giliran saya yang memotret dia. Dengan kemampuan pas-pasan menggunakan kamera profesional, saya asal jepret aja. Pokoknya bisa mengabadikan kenangan menari itu. Gerakan menarinya yang kaku, kadang terlambat, kadang salah membuat saya tersenyum-senyum sendiri.

Sang penari dadakan
Kaku ya? :p

FolkDance team, at the end of attraction

Selama 15 menit suami saya menari FolkDance, setelah itu dia mengeluh pusing-pusing karena gerakan berputar yang terlalu banyak. Tapi kalau namanya senang, apapun pasti dilakukan ya??

Acara selanjutnya adalah makan malam yang sempat tertunda 1,5 jam karena melihat folkdance. Pilihan kami jatuh ke Cafe Can yang terletak di jalan Bach Dang. Semenjak siang cafe ini menarik perhatian kami karena selalu padat pengunjung. Kafe ini berada pada bangunan tua di pinggir sungai. Lampu warna kuning mendominasi kafe ini dan memberikan kesan romantis.

Cafe Can @Bach Dang Street


Kami memesan 3 buah menu dan semua rasanya mak nyuss. Yang paling menarik bagi kami adalah menu white rose dan fried wonton. White rose? Terdengar aneh ya, tapi makanan ini tidak terbuat dari mawar putih kok, seperti pangsit rebus yang kulitnya berwarna bening dengan isian udang yang rasanya nagih. Sedangkan fried wonton, bentuknya seperti pangsit goreng dengan topping saos dan daging. Yang jelas, highly recommended!

White Rose

Fried Wonton


Makan malam di Cafe Can, mengakhiri hari kami di Hoi An. Kami kembali ke hotel untuk beristirahat dan esok pagi kami segera berangkat ke Hue.


Summary Note:

Where to eat:

Cafe CAN
Add : 74 Bach Dang, Hoi An
Phone : 0510.861525
Price : ?? (I forget it, but it's <50.000vnd style="font-weight: bold;">Where to sleep:
Thao Nguyen Hotel **
Add : 500 Hai Ba Trung, Hoi An
Phone : 0510.921921
Price : US$20
Rent Motorbike : US$8
Status : Not Recommended (due to for its location)
Recommended for its hospitality and services, free use of bicycle

Where to shop :
Bach Dang Market (market at the riverside) offers cheaper price than the shop at the road side, but bargaining is a must, 50% or less.

0 Responses